INDOFOKUSNEWS.WEB.ID — Setiap kali bencana alam melanda, satu pertanyaan selalu muncul di tengah masyarakat: “Sebenarnya, ini salah siapa?” Dari banjir musiman hingga longsor dan kebakaran hutan, masyarakat sering terbelah antara menyalahkan alam, pemerintah, atau perilaku manusia itu sendiri. Namun para ahli menilai bahwa bencana tidak bisa dilihat dari satu sisi saja.
Alam Berjalan Sesuai Siklusnya
Indonesia berada di kawasan cincin api dan iklim tropis basah, sehingga rawan gempa, letusan gunung api, siklon tropis, hingga curah hujan ekstrem. Para pakar menyebut sebagian bencana adalah murni fenomena alam yang tidak dapat dicegah.
Namun kondisi alam yang ekstrem tidak selalu harus berakhir menjadi bencana besar. Di sinilah peran manusia diuji.
Faktor Manusia Perbesar Dampak Bencana
Data BNPB menunjukkan sebagian besar bencana di Indonesia dipicu oleh faktor hidrometeorologi, yang pengaruhnya dapat diperburuk oleh aktivitas manusia. Beberapa di antaranya:
- Pembalakan liar yang melemahkan struktur tanah.
- Alih fungsi lahan tanpa kajian lingkungan.
- Pembangunan yang mengabaikan tata ruang.
- Sampah yang menutup aliran sungai dan drainase.
- Aktivitas tambang yang merusak ekosistem.
Kerusakan ekologis ini membuat daerah rawan semakin rentan dan kehilangan kemampuan alam untuk menahan tekanan cuaca.
Pemerintah vs. Masyarakat: Siapa Paling Bertanggung Jawab?
Di lapangan, warga sering menyoroti lemahnya penegakan hukum, pembangunan yang tidak merata, dan minimnya mitigasi bencana. Pemerintah dianggap kurang tegas mengawal perizinan dan pengawasan lingkungan.
Namun masyarakat juga tidak sepenuhnya bebas dari tanggung jawab. Kebiasaan membuang sampah sembarangan, membangun di bantaran sungai, hingga kurang peduli terhadap penghijauan turut memperparah risiko.
Pengamat lingkungan menilai bahwa bencana adalah “akumulasi kesalahan bersama”, bukan satu pihak saja.
Mitigasi Lemah, Dampak Menjadi Lebih Parah
Para ahli menekankan bahwa mitigasi adalah kunci. Negara-negara rawan bencana dapat mengurangi risiko hingga 80% dengan perencanaan matang dan sistem peringatan dini yang efektif.
Di Indonesia, sejumlah langkah dianggap perlu diperkuat:
1. Penataan ruang berbasis kajian ilmiah
Pembangunan harus disesuaikan dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
2. Penegakan hukum lingkungan
Perusak hutan dan pembangun ilegal harus dikenai sanksi yang benar-benar memberi efek jera.
3. Edukasi publik dan kesiapsiagaan
Latihan evakuasi, sekolah aman bencana, dan literasi lingkungan perlu diperluas.
4. Pengelolaan sampah dan revitalisasi sungai
Saluran air yang bersih dapat mengurangi risiko banjir hingga 40%.
Mencari Solusi, Bukan Kambing Hitam
Ketika bencana terjadi, saling menyalahkan tidak akan menyelesaikan masalah. Yang lebih penting adalah evaluasi bersama: apa akar masalahnya, apa yang harus diperbaiki, dan langkah apa yang dapat dilakukan agar bencana serupa tidak terulang.
Ahli kebencanaan menegaskan bahwa bencana seharusnya menjadi peringatan, bukan sekadar bahan perdebatan. “Bencana adalah cermin. Kita melihat apa yang salah, lalu memperbaikinya,” ujarnya.
Pada akhirnya, bencana adalah perpaduan antara dinamika alam dan kesalahan manusia dalam mengelola lingkungan. Menjaga alam adalah tanggung jawab bersama. Tanpa perubahan kebijakan dan perilaku, bencana akan terus datang dan menelan korban.
Solusinya bukan mencari siapa yang paling salah, tetapi siapa yang paling siap memperbaiki keadaan.

Posting Komentar