INDOFOKUSNEWS.WEB.ID - Tingginya ongkos politik di Indonesia menjadi sorotan serius dalam beberapa tahun terakhir. Mulai dari biaya kampanye, mahar politik, hingga kebutuhan logistik partai, seluruh proses politik seolah membutuhkan modal besar untuk bisa “masuk gelanggang”. Kondisi ini bukan sekadar persoalan teknis, tetapi telah berdampak luas terhadap kualitas demokrasi dan arah pembangunan bangsa.
Ongkos Politik Semakin Mahal
Di berbagai daerah, calon kepala daerah harus menanggung biaya tinggi untuk iklan, konsolidasi tim, logistik kampanye, hingga mahar pencalonan. Di tingkat nasional, angka itu jauh lebih besar. Kondisi ini membuat politik Indonesia sering dianggap sebagai arena untuk mereka yang berkantong tebal.
Namun tingginya ongkos politik tidak hanya membebani kandidat. Dampaknya justru jauh lebih luas, menggerus nilai demokrasi dan kepercayaan publik.
1. Mendorong Praktik Korupsi
Dampak paling nyata dari mahalnya biaya politik adalah dorongan untuk melakukan korupsi setelah pejabat terpilih menjabat. Para kandidat yang telah mengeluarkan miliaran rupiah sering merasa perlu “mengembalikan modal”.
Beberapa praktik yang sering muncul:
- Korupsi anggaran proyek
- Jual beli jabatan
- Mark up atau pengaturan tender
- Gratifikasi dari pengusaha pendukung
Tidak mengherankan jika beberapa kepala daerah yang ditangkap KPK mengaku terjebak dalam kebutuhan mengembalikan biaya kampanye.
2. Politik Oligarki Semakin Menguat
Biaya politik tinggi membuat akses politik tertutup bagi masyarakat biasa. Partai politik cenderung mengusung kandidat yang memiliki modal besar atau didukung pemodal. Akibatnya, politik hanya bisa diakses oleh:
- Pengusaha besar
- Keluarga politik tertentu
- Kelompok elit tertentu
Fenomena ini mendorong lahirnya politik oligarki, di mana kekuasaan berputar di lingkaran yang sama dan jauh dari aspirasi rakyat luas.
3. Kualitas Pemimpin Menurun
Ketika politik hanya bisa diikuti mereka yang mampu secara finansial, maka rekruitmen politik tidak lagi berbasis kualitas, kemampuan, atau rekam jejak.
Banyak tokoh muda, aktivis masyarakat, atau akademisi yang berkualitas akhirnya mengurungkan niat maju karena tidak mampu menanggung biaya.
Akibatnya, pilihan pemimpin menjadi terbatas dan tidak mencerminkan kompetensi terbaik dari masyarakat.
4. Kebijakan Publik Berpihak pada Pemodal
Pemodal besar yang mendukung kandidat sering menuntut “balas jasa” setelah kandidat menang. Ini menyebabkan kebijakan publik:
- Lebih mengutamakan kepentingan kelompok tertentu
- Tidak lagi fokus pada kebutuhan masyarakat umum
- Lemah dalam pengawasan terhadap industri besar
- Rentan konflik kepentingan
Dalam jangka panjang, hal ini dapat merusak tata kelola pemerintahan dan merugikan masyarakat kecil.
5. Kepercayaan Publik Terhadap Demokrasi Merosot
Ketika masyarakat melihat politik sebagai urusan uang dan kekuasaan, kepercayaan terhadap proses demokrasi ikut menurun. Muncul anggapan bahwa suara rakyat tidak lagi penting, karena yang menentukan adalah kekuatan modal.
Penurunan kepercayaan ini dapat berbahaya karena melemahkan partisipasi masyarakat, memunculkan apatisme politik, dan membuka celah bagi kelompok antidemokrasi.
6. Beban Ekonomi Daerah dan Negara
Tidak sedikit politisi yang memaksakan pembangunan proyek besar yang tidak dibutuhkan hanya demi mengembalikan modal atau memenuhi janji kepada pemodal.
Ini menyebabkan:
- Pemborosan anggaran
- Proyek tidak tepat guna
- Hutang daerah meningkat
- Program sosial tercecer
Pembangunan menjadi tidak efektif dan tidak menyentuh kebutuhan rakyat.
7. Suburnya Politik Transaksional
Pemilu di banyak daerah masih dipenuhi praktik:
- Politik uang
- Bagi-bagi sembako
- “Sewa massa” kampanye
- Transaksi suara antar elite
Ketika politik menjadi transaksi, maka nilai perjuangan, gagasan, dan moralitas hilang. Demokrasi menjadi prosedural, bukan substantif.
Bagaimana Keluar dari Lingkaran Ini?
Beberapa langkah yang diyakini dapat menekan tingginya ongkos politik:
a. Reformasi pendanaan partai politik
Partai yang sehat bisa menekan biaya politik karena pembiayaan berasal dari iuran anggota dan negara, bukan pemodal besar.
b. Penegakan hukum terhadap politik uang
Tanpa penegakan hukum, politik transaksional akan terus berlanjut.
c. Transparansi dana kampanye
Setiap pemasukan dan pengeluaran harus diumumkan ke publik.
d. Memperkuat kaderisasi internal partai
Agar kandidat tidak dipilih berdasar modal, tetapi kapasitas.
e. Pendidikan politik kepada masyarakat
Rakyat perlu disadarkan bahwa menerima uang saat pemilu berarti menanggung pemimpin yang buruk di kemudian hari.
Tingginya ongkos politik di Indonesia bukan hanya persoalan biaya, tetapi persoalan masa depan demokrasi. Jika tidak segera dibenahi, negara ini berisiko semakin dikuasai oligarki, korupsi merajalela, dan kualitas kepemimpinan terus merosot.
Demokrasi yang mahal pada akhirnya akan dibayar dengan mahal pula oleh rakyat. Reformasi politik adalah keharusan, bukan pilihan.

Posting Komentar